www.babadnews.com
Otonomi | Pekanbaru | Rohil | Opini | Indeks
Keprihatinan Jelang Berakhirnya Periode Kedua Pemerintah Presiden Jokowi
Kamis, 18 Januari 2024 - 11:11:09 WIB
TERKAIT:
   
 

(BABADNEWS) - Keprihatinan mencuat jelang berakhirnya periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Baru-baru ini, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyampaikan temuan bahwa sebanyak 2.939 konflik agraria meletus sepanjang era pemerintahan Presiden Jokowi (medio 2015-2023). Tercatat 6,3 juta hektar berada dalam situasi konflik. Adapun korban terdampak 1,75 juta Kepala Keluarga (KK). Kasus tersebar hampir seluruh wilayah di Indonesia. Temuan KPA sekaligus menyimpulkan kenaikan pesat konflik agraria di era Presiden Jokowi dibanding periode pemerintahan presiden sebelumnya. Sekedar informasi, mengutip data KPA, konflik agraria selama masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) rentang 2005-2014 berjumlah 2.334 kasus dengan lahan konflik 5,7 juta hektar dan keluarga terdampak 977.103 KK.

Mengutip pemaparan Sekretaris Jendral KPA Dewi Kartika dalam konferensi pers (15/1/2024), 2.939 kasus konflik agraria disumbangkan sektor perkebunan (1.131 kasus); sektor properti (609 kasus); sektor infrastruktur (507 kasus); sektor kehutanan (213 kasus); sektor pertambangan (212 kasus); sektor pertanian/agribisnis (152 kasus); pesisir dan pulau-pulau kecil (79 kasus); serta pembangunan fasilitas militer (36 kasus).

Bikin miris, investasi dan pembangunan sektor perkebunan, infrastruktur, properti, kehutanan, termasuk Proyek Strategis Nasional (PSN) turut menyebabkan eskalasi konflik. Ditemukan 115 letusan konflik, luas terdampak 516.409 hektar dan keluarga terdampak sebanyak 85.555 KK. Di antaranya disebut Tol Padang - Pekanbaru. Di balik mencuatnya konflik agraria terungkap pula kegetiran lain. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam Konferensi Tenurial 2023 menyatakan bahwa masyarakat adat telah kehilangan lahan seluas 8,5 juta hektare sejak 2017 hingga 2022.

Sekilas mengenai Konferensi Tenurial 2023 dihadiri lebih dari 800 peserta seantero Indonesia. Berkaitan lahan masyarakat adat yang dirampas meliputi sektor perkebunan, kawasan hutan negara, pertambangan, energi, pariwisata dan pembangunan proyek infrastruktur. Perampasan dinilai memicu konflik tenurial di masyarakat adat. Paling banyak lagi-lagi sengketa pada sektor perkebunan khususnya sawit yang mencapai 20,8 persen dari total konflik se-nasional. Dalam konteks kedaerahan, Riau pernah menduduki peringkat teratas daerah yang memiliki kerawanan konflik tertinggi sepanjang tahun 2020 (29 kasus). Teruntuk Sumatra, posisi Riau disusul provinsi Jambi (21 kasus), Sumatera Utara (19 kasus) dan Sumatera Selatan (17 kasus). Konflik lahan di Riau bahkan sampai dibahas khusus dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Mafia Tanah di Komisi II DPR RI tahun lalu.

Problem Sosial

Meningkatnya jumlah konflik agraria jelas amat merugikan. Melahirkan pelbagai problem sosial. Wilayah dimana terjadinya konflik lahan antar warga dengan badan usaha pemerintah atau swasta kebanyakan masuk kantong kemiskinan. Konflik agraria dan perampasan lahan juga berkontribusi meningkatkan jumlah petani gurem atau petani tidak bertanah. Sekedar gambaran, berdasarkan Data Sensus Pertanian tahun 2013, sedikitnya 11,51 juta keluarga petani berstatus petani gurem. Lima tahun kemudian (2013-2018) melonjak menjadi 15,8 juta keluarga atau bertambah sekitar 4,29 juta keluarga (BPS, Survei Pertanian Antar Sensus, 2018). Besar kemungkinan bakal naik bila disesuaikan keadaan terkini. Terlebih beberapa tahun belakangan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan dan investasi sebagian besar menyasar tanah-tanah pertanian dan perkebunan produktif rakyat.

Fenomena serupa juga didapati di Riau. Hal kasat mata saja. Walau Riau sentra perkebunan sawit dan Migas, sejumlah daerah masih dilanda kemiskinan ekstrim. Menimbang profesi terbanyak masyarakat Riau petani dan pekebun, kehilangan lahan akibat konflik tentu akan menjatuhkan mereka ke jurang kemiskinan terdalam.

Sayang, “meroketnya” kasus konflik agraria belum diimbangi kemampuan negara (baca: Pemerintah) untuk menyelesaikan. Baik itu Pemerintah Daerah (Pemda) hingga pusat masih jauh dari janji Nawacita yakni Reforma agraria. Memang Pemerintah terus berupaya melalui berbagai program dari Kementerian ATR/BPN seperti sertifikat tanah, yang mana tahun 2024 ditargetkan total 120 juta sertifikat tanah akan diberikan. Kendati demikian, pendekatan tak cukup sebatas bagi sertifikat. Satu dari 5 program prioritas Reforma Agraria yaitu pemberdayaan masyarakat dalam pengunaan, pemanfaatan dan produksi atas tanah objek Reforma Agraria. Sertifikasi penting, namun niatnya bukan supaya tanah/lahan masyarakat bisa digantirugi. Kita ingin penguatan peran masyarakat. Paradigmanya bagaimana membesarkan yang kecil. Jangan sampai masyarakat yang lemah semakin diperlemah. Apalagi bicara lahan komunitas pesukuan atau Masyarakat Hukum Adat (MAH). Paradoksnya di sini. Padahal tahun 2019 dalam Rapat Terbatas (Ratas), Presiden Jokowi pernah tegas berkata akan mencabut izin konsesi perusahaan swasta maupun BUMN yang bersengketa dengan masyarakat yang telah lama menempati suatu kampung atau desa. Tapi kenyataan tak sejalan.

Ketidakkonsistenan berikutnya soal perlindungan. Terus terang Kami anggota DPRD Provinsi dibuat bingung. Kita di daerah mati-matian memperjuangkan regulasi yang mengakomodir MAH dan komunitas adat. Sebut saja antara lain menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Riau 10/2015 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Lalu adapula Perda 14/2018 tentang Pedoman Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat Dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Aturan barusan landasan memperkuat peran dan keberadaan MAH.

Berangkat dari pandangan bahwa tanah/lahan faktor sangat penting dalam kehidupan masyarakat, khususnya komunitas pesukuan atau MAH di Riau yang sebagian besar hidupnya bergantung pada pemanfaatan hutan/tanah/lahan. Supaya pengelolaan dan pemanfaatan dapat berkelanjutan, dipandang perlu peraturan sebagai perlindungan dan pengakuan negara. Namun pengakuan di pusat malah abu-abu. Tak sedikit tanah masyarakat adat atau yang sudah tinggal bergenerasi diambil atas dalih “kepentingan nasional” dan demi investasi. Kampung Rempang buktinya. Kalau sudah begini tentu arah Reforma Agraria patut dipertanyakan tujuannya.

Sumber : Cakaplah.com




 
Berita Lainnya :
  • Kampanye di Bukit Batu Bengkalis, Abdul Wahid Komit Membuat Jembatan Pakning Bengkalis
  • Jangan Jelekkan Paslon Lain di Pilkada 2024, Polda Riau Terus Intai Para Pelaku Black Campaign
  • Sejumlah Produk Jamu Bermerek Tawon Klanceng Disita BBPOM Pekanbaru
  • Rp1,4 T BKK Desa Sudah Disalurkan
  • 4.737 Pelamar CPNS Kampar Akan Ikuti CAT SKD, Diharapkan Hadir Satu Setengah Jam Sebelum Ujian
  •  
    Komentar Anda :

     
     
     
     
    TERPOPULER
    1 Serikat Pekerja Indonesia Laporkan Dugaan Mal-administrasi Pegawai Disnaker Provinsi Riau ke Omdusme
    2 Bertemu Ketua KNPI Pekanbaru 2011-2014, M Yasir Peroleh Banyak Pelajaran BerKNPI
    3 Dilantik Ade Fitra, M Yasir Sah Jabat Ketua PK KNPI Binawidya 2021-2024
    4 Kades Tarai BangunĀ Andra Maistar Lantik Ketua RT dan RW Serentak
    5 Kejagung Periksa Pejabat KLHK, Dugaan Korupsi Oleh Pengelolaan Lahan Hutan di Inhu
    6 Bukit Raya Raih Penghargaan Sebagai Kecamatan Terinovatif 1 Tahun 2020
    7 Perbaikan Jalan di Kuansing Terus Digesa, Alat Berat Dikerahkan
    8 Tim Basket Putri SMA 1 Kampar Berhasil Melaju ke Babak Kedua, Usai Kalahkan SMA 1 Tandun
    9 Camat Sukajadi Rahma Ningsih Apresiasi Donor Darah Kedung Sari
    10 Ayat Cahyadi : Rencana Belajar Tatap Muka Tunggu Arahan Kemendikbud
     
    Otonomi | Pekanbaru | Rohil | Opini | Indeks
    Redaksi Disclaimer Pedoman Tentang Kami Info Iklan
    © 2020-2023 PT. BBMRiau Indo Pers