Harga Minyak Dunia Anjlok 2 Persen, Investor Cemas Sanksi AS dan Manuver OPEC+
  Kamis, 30 Oktober 2025 - 15:01:45 WIB
 
  
  
    
      JAKARTA (BabadNews)  – Harga minyak dunia kembali melemah tajam setelah tiga hari berturut-turut mengalami penurunan. Ketidakpastian global akibat sanksi baru Amerika Serikat (AS) terhadap dua perusahaan minyak raksasa Rusia, Lukoil dan Rosneft, membuat pasar energi bergejolak.
Dikutip dari CNBC, Rabu (29/10/2025), harga minyak mentah Brent berjangka ditutup turun USD 1,22 atau 1,9 persen ke posisi USD 64,40 per barel. Sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) Amerika Serikat juga turun USD 1,16 atau 1,9 persen menjadi USD 60,15 per barel.
Penurunan harga ini menandai tren koreksi setelah sempat mencatat kenaikan mingguan terbesar sejak Juni lalu. Kala itu, pasar bereaksi terhadap keputusan Presiden AS Donald Trump yang menjatuhkan sanksi terkait perang Ukraina kepada dua raksasa energi Rusia tersebut.
Namun, pasar kini mulai mempertimbangkan efek lanjutan dari kebijakan tersebut setelah muncul sinyal kelonggaran dari Washington. Menteri Ekonomi Jerman mengungkapkan, pemerintah AS telah memberi jaminan tertulis bahwa bisnis milik Rosneft di Jerman akan dibebaskan dari sanksi karena tidak lagi berada di bawah kendali Rusia.
“Langkah ini memberi kesan bahwa AS masih membuka ruang diplomasi. Artinya, risiko gangguan pasokan mungkin tidak separah yang dikhawatirkan pasar sebelumnya,” ujar Analis Senior Price Futures Group, Phil Flynn.
Flynn menambahkan, pergerakan harga minyak saat ini juga mencerminkan kecenderungan pelaku pasar menghindari risiko. “Kita sedang melihat fase di mana sentimen geopolitik mendominasi pasar, bukan faktor fundamental permintaan,” ujarnya.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Badan Energi Internasional (IEA), Fatih Birol, menilai dampak sanksi AS terhadap ekspor minyak Rusia kemungkinan tidak akan terlalu signifikan. “Masih ada kelebihan kapasitas di pasar global yang mampu menahan guncangan pasokan,” jelasnya. 
Sanksi terbaru ini menjadi langkah paling tegas terhadap sektor energi Rusia sejak invasi ke Ukraina pada Februari 2022. Lukoil sendiri menyumbang sekitar 2 persen dari produksi minyak global, sementara Rosneft merupakan salah satu pemain kunci dalam ekspor energi Rusia.
Meski begitu, beberapa negara seperti India kini mengambil sikap hati-hati. Reuters melaporkan, sejumlah kilang di India menunda pemesanan baru minyak Rusia sambil menunggu kejelasan lebih lanjut dari pemerintah setempat dan para pemasok.
Kondisi pasar semakin rumit setelah muncul sinyal dari OPEC+ untuk meningkatkan produksi mulai Desember mendatang. Aliansi yang dipimpin Arab Saudi dan Rusia itu dikabarkan tengah mengkaji pelonggaran pembatasan produksi yang telah diterapkan selama beberapa tahun terakhir.
“Jika OPEC+ menambah produksi, pertanyaannya adalah seberapa besar cadangan kapasitas mereka saat ini. Pasar akan sensitif terhadap itu,” ujar Flynn.
CEO Saudi Aramco juga menegaskan bahwa permintaan minyak global masih kuat, bahkan sebelum sanksi terhadap Rosneft dan Lukoil diberlakukan. “Permintaan dari China tetap stabil, dan pasar Asia terus menunjukkan pertumbuhan positif,” katanya.
Presiden Lipow Oil Associates, Andrew Lipow, menilai keputusan OPEC+ menambah produksi bisa menjadi penyeimbang terhadap potensi penurunan pasokan dari Rusia. “Kenaikan produksi OPEC+ dapat mengimbangi efek sanksi, menjaga pasokan global tetap stabil,” jelasnya. 
Sementara itu, investor juga menyoroti rencana pertemuan penting antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di Korea Selatan pada Kamis mendatang. Pertemuan ini diharapkan dapat membuka jalan bagi kesepakatan dagang baru antara dua konsumen minyak terbesar dunia.
Beijing disebut berharap Washington bersedia menempuh “jalan tengah” demi meredakan ketegangan ekonomi global. Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, bahkan telah melakukan pembicaraan langsung dengan Menlu AS, Marco Rubio, untuk mempersiapkan pertemuan tersebut.
Pasar kini menanti arah baru dari dua peristiwa besar itu—sanksi terhadap Rusia dan langkah OPEC+—yang akan menentukan arah harga minyak dunia ke depan. “Kombinasi ketidakpastian geopolitik dan potensi peningkatan produksi membuat harga minyak sangat sulit diprediksi,” tutur Flynn.
Bagi pelaku industri energi, situasi ini menjadi pengingat bahwa pasar minyak bukan hanya soal permintaan dan pasokan, melainkan juga cermin dari tarikan kepentingan politik global. *** 
	
    
    
	
	
Komentar Anda :